.

Pertemuan 5 - Kebijakan Hukum Cybercrime




Pembahasan:
  1. Cyberlaw
  2. Ruang Lingkup Cyberlaw
  3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE
  4. Celah Hukum Cybercrime

I. PENGERTIAN CYBER LAW



Cyberlaw adalah hukum yang digunakan didunia maya (cyber space) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi suatu aspek yang berhubungan dengan orang perongan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat online dan memasuki dunia cyber atau duni maya.

Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya.

II. RUANG LINGKUP CYBER LAW


Pembahasan mengenai ruang lingkup ”cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan pemanfaatan Internet.

Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet mengingatkan tentang ruang lingkup dari cyber law diantaranya :

III. PENGATURAN CYBERCRIMES DALAM UU ITE

Latar Belakang UU ITE
Indonesia telah memasuki sebuah tahapan baru dalam dunia informasi dan komunikasi dalam hal ini adalah internet. Indonesia merupakan salah satu  negara berkembang di dunia yang telah memulai babakan baru dalam tata cara pengaturan beberapa sistem komunikasi melalui media internet yakni seperti informasi, pertukaran data, transaksi online dsb. Hal itu dilakukan oleh Indonesia melalui pemerintah yang bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat sebuah draft atau aturan dalam bidang komunikasi yang tertuang dalam RUU ITE atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik. Tepatnya pada tanggal 25 Maret 2008 telah disahkan menjadi UU oleh DPR. UU ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi diantaranya dalam penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.  Hal tersebut adalah sebuah langkah maju yang di tempuh oleh pemerintah dalam penyelenggaraan layanan informasi secara online yang mencakup beberapa aspek kriteria dalam penyampaian informasi.


Untuk itu tentu dibutuhkan suatu aturan yang dapat memberikan kepastian hukum dunia maya di Indonesia.  Maka diterbitkanlah undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang lazim dikenal dengan istilah “UU ITE”.

Latar Belakang Disusunnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis, dimana hukum dapat berkembang sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Salah satu perkembangan yang terjadi adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia maya. Dunia maya juga telah mengubah kebiasaan banyak orang yang menggunakan internet untuk melakukan berbagai kegiatan dan juga membuka peluang terjadinya kejahatan. Untuk itu tentu dibutuhkan suatu aturan yang dapat memberikan kepastian hukum dunia maya di Indonesia.  Maka diterbitkanlah undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang lazim dikenal dengan istilah “UU ITE”.


Manfaat Kehadiran UU ITE
Kehadiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akan memberikan manfaat, beberapa diantaranya; (i) menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik; (ii) mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia; (iii) sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi; (iv) melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Kronologis UU ITE
UU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan nama Rancangan Undang Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE). Semula UU ini dinamakan Rancangan UndangUndang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik (RUU IKTE) yang disusun Ditjen Pos dan Telekomunikasi – Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Tim Asistensi dari ITB, serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI).

Setelah Departemen Komunikasi dan Informatika terbentuk berdasarkan Peraturan Presiden RI No 9 Tahun 2005, tindak lanjut usulan UU ini kembali digulirkan. Pada 5 September, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat No.R./70/Pres/9/2005 menyampaikan naskah RUU ini secara resmi kepada DPR RI. Bersamaan dengan itu, pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika membentuk “Tim Antar Departemen Dalam rangka Pembahasan RUU Antara Pemerintah dan DPR RI” dengan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No.83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007 dengan Pengarah:
  • Menteri Komunikasi dan Informatika,
  • Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Negara, dan Sekretaris Jenderal
  • Depkominfo. Ketua Pelaksana Ir. Cahyana Ahmadjayadi, Dirjen Aplikasi Telematika
  • Depkominfo, Wakil Ketua Pelaksana I: Dirjen Peraturan Perundang-undangan
  • Departemen Hukum dan HAM dan Wakil Ketua Pelaksana II: Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum.
Proses Pembahasan UU ITE

Pembentukan Pansus Dan RDPU

Merespon surat Presiden No. R./70/Pres/9/2005, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang awalnya diketuai oleh R.K. Sembiring Meliala (FPDIP) untuk selanjutnya digantikan oleh Suparlan, SH (FPDIP). Pansus DPR beranggotakan 50 orang dari 10 (sepuluh) fraksi yang ada di DPR. Pansus mulai bekerja sejak 17 Mei 2006 hingga 13 Juli 2006 dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak sebanyak 13 kali; antara lain operator telekomunikasi, perbankan, aparat penegak hukum, dan kalangan akademisi. Setelah menyelesaikan RDPU dengan 13 institusi, pada Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Ada 287 DIM yang berasal dari 10 fraksi yang tergabung dalam Pansus.
Rapat Pansus, Panja, Dan Timus-Timsin
Pembahasan DIM RUU ITE antara Pansus DPR dengan Pemerintah (Tim Antar Departemen Pembahasan RUU ITE) mulai dilaksanakan pada 24 Januari 2007 di Ruang Komisi I DPR. Pembahasan dilakukan sekali dalam seminggu (Rabu atau Kamis) sesuai undangan DPR.
Pada pembahasan RUU ITE tahap Pansus, sesuai ketentuan, Pemerintah diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika atau Menteri Hukum dan HAM serta didampingi anggota Tim Antar Departemen Pembahasan RUU ITE. Rapat Pansus yang dilaksanakan sejak 24 Januari hingga 6 Juni 2007, dilakukan sebanyak 17 kali dan berhasil membahas seluruh DIM Setelah Pansus, pembahasan dilakukan pada tahap Panitia Kerja (Panja), berlangsung mulai 29 Juni 2007 sampai 31 Januari 2008, dengan jumlah rapat sebanyak 23 kali. Selesai Rapat Panja, pembahasan dilanjutkan pada tahap Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang berlangsung sejak 13 Februari sampai 13 Maret 2008 dengan jumlah rapat sebanyak 5 kali.
Rapat Pleno Pansus Dan Paripurna Dewan
Tahap selanjutnya setelah Rapat Pansus, Panja, dan Timus-Timsin dilalui, digelar Rapat Pleno Pansus RUU ITE dilakukan untuk pengambilan keputusan tingkat pertama terhadap naskah akhir RUU ITE. Ini dilangsungkan pada 18 Maret 2008, dan hasilnya menyetujui RUU ITE dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II. Pada Rapat Paripurna DPR RI, tanggal 25 Maret 2008, 10 Fraksi sepakat menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang untuk selanjutnya dikirim ke Presiden untuk ditandatangani.
Kemudian lahirlah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang telah ditandatangan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, pada 21 April 2008 lalu, yang sebelumnya pada 25 Maret 2008 ditelah disetujui oleh DPR, sebagai upaya untuk menyediakan payung hukum bagi kegiatan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.

Gambaran Umum UU ITE
UU ITE ini terdiri dari 13 bab dan 54 pasal ;

Bab 1 – Tentang Ketentuan Umum,
Yang menjelaskan istilah–istilah teknologi informasi menurut undang-undang informasi dan transaksi elektronik.

Bab 2 – Tentang Asas Dan Tujuan,
Yang menjelaskan tentang landasan pikiran dan tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.

Bab 3 – Tentang Informasi, Dokumen, Dan Tanda Tangan Elektronik,
Yang menjelaskan sahnya secara hukum penggunaan dokumen dan tanda tangan elektronik sebagai mana dokumen atau surat berharga lainnya.

Bab 4 – Tentang Penyelenggaraa Sertifikasi Elektronik Dan Sistem Elektronik,
Menjelaskan tentang individu atau lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikasi elektronik dan mengatur ketentuan yang harus di lakukan bagi penyelenggara sistem elektronik.

Bab 5 -  Tentang Transaksi Elektronik,
Berisi tentang tata cara penyelenggaraan transaksi elektronik.

Bab 6 – Tentang Nama Domain, Hak Kekayaan Intelektual, Dan Perlindungan Hak Pribadi,
Menjelaskan tentang tata cara kepemilikan dan penggunaan nama domain, perlindungan HAKI, dan perlindungan data yang bersifat privacy.

Bab – 7 Tentang Perbuatan Yang Dilarang,
Menjelaskan tentang pendistribusian dan mentransmisikan informasi elektronik secara sengaja atau tanpa hak yang didalamnya memiliki muatan yang dilarang oleh hukum.

Bab – 8 Tentang Penyelesaian Sengketa,
Menjelaskan tentang pengajuan gugatan terhadap pihak pengguna teknologi informasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bab 9 – Tentang Peran Pemerintah Dan Peran Masyarakat,
Menjelaskan tentang peran serta pemerintah dan masyarakat dalam melindungi dan memanfaatkan teknologi informasi dan transaksi elektronik.

Bab 10 – Tentang Penyidikan,
Bab ini mengatur tata cara penyidikan tindak pidana yang melanggar Undang-Undang ITE sekaligus menentukan pihak-pihak yang berhak melakukan penyidikan.

Bab 11 -  Tentang Ketentuan Pidana,
Berisi sanksi-sanksi bagi pelanggar Undang-Undag ITE.

Bab – 12 Tentang Ketentuan Peralihan,
Menginformasikan bahwa segala peraturan lainnya dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan UU ITE.

Bab 13 – Tentang Ketentuan Penutup,
Berisi tentang pemberlakuan undang-undang ini sejak ditanda tangani presiden.

Tujuan Undang-Undang ITE
  1. Mengembangkan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.
  2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
  3. Meningkatkan aktifitas dan efisiensi pelayanan publik.
  4. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan dibidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin namun disertai dengan tanggung jawab.
  5. Memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.
Dua muatan besar yang diatur dalamUU ITE adalah :
1. Pengaturan transaksi elektronik
2. Tindak pidana cyber



Berikut ini adalah beberapa kategori kasus Cybercrime yang telah ditangani dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (Pasal 27 sampai dengan Pasal 35) : 

Pasal 27 “ Illegal Contents 

  1. Muatan yang melanggar kesusilaan (Pornograph)
  2. Muatan perjudian ( Computer-related betting) 
  3. Muatan penghinaan dan pencemaran nama baik 
  4. Muatan pemerasan dan ancaman (Extortion and Threats)

Pasal 28 “Illegal Contents 
  • Derita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (Service Offered fraud) 
  • Informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan (SARA). 
Pasal 29 “Illegal Contents

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pasal 30 “Illegal Access
  • Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
  • Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
  • Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasala 31 "Illegal Interception
  • Intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
  • Intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
Pasal 32 “Data Leakage and Espionage

Mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

Pasal 33 “System Interference

Melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.


Pasal 34 “Misuse Of Devices

Memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi cybercrime, sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi cybercrime.

Pasal 35 “Data Interference

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
 

Pengaturan Tindak Pidana TI dan Transaksi Elektronik

Tindak pidana yang diatur dalam UUITE diatur dalam Bab VII tentang perbuatan yang dilarang, perbuatan tersebut dikategorikan menjadi kelompok sebagai berikut:
1. Tindak Pidana yang berhubungan dengan ativitas illegal, yaitu:
  • Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal (kesusilaan, perjudian, berita bohong dll)
  • Dengan cara apapun melakuka akses illegal
  • Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan sistem elektronik
2. Tindak Pidana yang berhubungan dengan gangguan (interfensi), yaitu :
  • Gangguan terhadap informasi atau dokumen elektronik
  • Gangguan terhadap sistemelektronik
3. Tindak Pidana memfasilitas perbuatan yng dilarang
4. Tindak Pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik
5. Tindak Pidana Tambahan dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana

IV.  Celah HukumCybercrime
Pada dasarnya sebuah undang-undang dibuat sebagai jawaban hukum terhadap persoalan yang ada di masyarakat.
Namun pada pelaksanaannya tak jarang suatu undang-undang yang sudah terbentuk menemui kenyataan yang mungkin tidak terjangkau saat undang-undang di bentuk.
Faktor yang mempengaruhi munculnya kenyataan diatas, yaitu:
  1. Keterbatasan manusia memprediksi secara akurat apa yang terjadi di masa yang akan datang
  2. Kehidupan masyarakat manusiaa baik sebagai kelompok dan bangsa
  3. Pada saat undang-undang diundangkan langsung “konservatif'.
Menurut Suhariyanto (2012) celah hukum kriminalisasi cybercrime yang ada dalamUU ITE, diantaranya :
  1. Pasal pornografi di internet (cyberporn)
  2. Pasal perjudian di internet (Gambling on line)
  3. Pasal penghinaan dan atau Pencemaran nama baik di internet
  4. Pasal pemerasan dan atau pengancaman melalui internet
  5. Penyebaranberitabohongdan penghasutan melalui internet
  6. Profokasi melalui internet

1. Pasal pornografi di internet (cyberporn)
Pasal 27 ayat 1 UUITE berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” melanggarkesusilaan”

Pertama, pihak yang memproduksi dan yang menerima serta yang mengakses tidak terdapat aturannya.
Kedua, definisi kesusilaannya belum ada penjelasan
batasannya.
2. Pasal perjudian di internet (Gambling on line)
Dalam pasal 27 ayat 2 UUITE berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian”.

Bagi pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam teks pasal tersebut, akan tetapi terlibat dalam acara perjudian di internet misalnya : para penjudi tidak dikenakan pidana
3. Pasal penghinaan dan atau Pencemaran nama baik di internet
Pasal 27 ayat 3 UUITE, berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan /atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Pembuktian terhadap pasal tersebut harus benar-benar dengan hati-hati karena dapat dimanfaatkan bagi oknum yang arogan.
4. Pasal pemerasan dan atau pengancaman melalui internet
Pasal 27 ayat 4 UUITE, berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman”.

UU ITE tidak/atau belum mengatur mengenai cyber terorisme yang ditujukan ke lembaga atau bukan perorangan.
5. Penyebaran berita bohong dan penghasutan melalui internet
Pasal 28 Ayat 1 berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalamTransaksi Elektronik”.

Pihak yang menjadi korban adalah konsumen dan pelakunya produsen, sementara dilain pihak bisa jadi yang menjadi korban sebaliknya.
6. Profokasi melalui internet
Pasal 28 Ayat 2 yaitu :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan(SARA).” golongan(SARA).”

Dipasal tersebut di sebutkan istilah informasi dan tidak dijelaskan informasi yang seperti apa.




Posted by Andri Kristiawan

0 komentar: